Langsung ke konten utama

How to Train Your Dragon: Review Live-Action (2025)

Pernahkah kamu merasa terasing karena berbeda? Atau mungkin, merasa tidak cukup kuat untuk memenuhi harapan orang lain? 

    Film ini mengisahkan Hiccup, seorang pemuda Viking yang cerdas namun sering merasa tertekan oleh ayahnya, Stoick, kepala desa dan pemimpin yang mengharapkan Hiccup menjadi prajurit kuat seperti dirinya. Konflik utama muncul dari perbedaan pandangan antara Hiccup dan ayahnya tentang cara menghadapi para naga yang selama ini dianggap musuh.

    Setelah berhasil menembak jatuh seekor naga Night Fury, Hiccup memilih untuk merawatnya dan menjalin ikatan unik dengan naga itu, yang akhirnya ia beri nama Toothless. Hubungan ini menentang keyakinan Stoick dan memicu ketegangan antara ayah dan anak, sekaligus menjadi awal perubahan besar bagi desa mereka. 


    Versi live-action How to Train Your Dragon (2025) menampilkan sinematografi mereplikasi adegan-adegan ikonik dari versi animasinya di tahun 2010. Sutradara Dean DeBlois, yang juga mengarahkan film animasi aslinya, memilih untuk mengadaptasi beberapa momen penting secara shot-by-shot. Contohnya, adegan pertama kali Hiccup bertemu dengan Toothless, di mana Hiccup mengulurkan tangan untuk menyentuh Toothless, dibuat semirip mungkin dengan versi animasinya yang membuat nuansa nostalgia bagi para penggemar.

    Dialog dalam film ini juga tetap mengikuti kartun aslinya. Kutipan-kutipan terkenal seperti "This is Berk" dan "Forbidden Friendship" tetap digunakan, menjaga esensi emosional yang telah dikenal oleh penonton. Namun, beberapa kritik muncul terkait dengan penerjemahan dialog tersebut ke dalam konteks live-action, di mana beberapa momen terasa kurang emosional dibandingkan dengan versi animasinya. 

    Penggunaan backsound pada versi live action juga mengikuti versi animasinya dengan menghadirkan komposer yang sama, yaitu John Powell. Musik karya Powell berhasil menciptakan nuansa yang serupa di kedua versi, sekaligus mempertahankan kesan emosional yang telah melekat di hati para penggemar selama hampir 15 tahun.

    Namun, banyak penggemar yang menyayangkan kehadiran Astrid versi live action karena dari segi penampilan dan pengaruhnya terhadap keseluruhan film terasa kurang kuat. Hubungan antara Astrid dan Hiccup juga kurang terasa, sehingga Astrid terkesan hanya sebagai karakter pendamping biasa tanpa ada chemistry yang nyata dengan Hiccup. Sementara itu, dalam versi animasinya, karakter Astrid sangat kontras dengan Hiccup dimana Astrid digambarkan sebagai sosok yang keren, kuat, tegas, dan tidak lemah lembut. Namun, versi live action justru memperlihatkan Astrid yang lebih kalem dan kurang menonjol, sehingga tidak menciptakan jarak atau perbedaan yang jelas dengan Hiccup.

    Secara keseluruhan, film How to Train Your Dragon versi live-action (2025) berhasil menghadirkan kembali inti cerita dari film animasi 2010 dengan sangat menyentuh hati dan penuh nostalgia. Namun, meskipun beberapa karakter, seperti Hiccup dan Toothless, berhasil ditransformasikan dengan baik, perubahan pada karakter Astrid dan si kembar (Ruffnut dan Tuffnut) menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Astrid, yang dalam versi animasi dikenal sebagai sosok yang tegas dan mandiri, dalam versi live-action tampak lebih kalem dan kurang memiliki jarak emosional dengan Hiccup. Begitu pula dengan si kembar, meskipun tetap mempertahankan dinamika kocak mereka, perubahan dalam penampilan dan interaksi membuat mereka terasa kurang seperti versi asli yang dikenal penggemar. Meskipun demikian, film ini tetap berhasil mempertahankan inti dari cerita dan hubungan antar karakter yang membuat How to Train Your Dragon begitu dicintai.


Penulis : Aisya Qaterina 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Olympo (2025): Elite, Estetika, Eksploitasi?

Pernah nggak sih  kamu ngerasa capek banget ngejar sesuatu? Tapi semakin kamu kejar, kamu justru semakin kehilangan diri sendiri? Bayangin kalau yang kamu kejar itu medali, dan yang kamu jual adalah jiwa serta tubuhmu sendiri... Seperti itu kira-kira gambaran umum dari serial televisi Netflix yang berjumlah 8 episode ini. Bercerita mengenai kehidupan para atlet elite, di mana kekuatan, kecepatan, dan penampilan bukan lagi pilihan, melainkan sebuah tuntutan yang harus mereka penuhi. Netflix Media Center (press release “Olympo Arrives on Netflix”) Cerita berpusat di Pirineos Center of High Performance (yang selanjutnya akan disebut sebagai HPC)  akademi olahraga elit di Spanyol yang dikenal sebagai tempat pembinaan paling ambisius di benua Eropa.  Tapi sserial ini bukan membahas mengenai semangat sportivitas klise. Di balik latihan ekstrem, ada misi lain: menjadikan mereka wajah-wajah yang layak dijual. Di balik drama semua itu berdiri,  Olympo , merek raksasa yang leb...

Review The Substance (2024)

Pernahkan kalian berkeinginan untuk menjadi orang lain yang kalian anggap lebih rupawan dan berusia jauh lebih muda dari kalian? Pernahkan kalian merasa iri dengan mereka yang terlahir dengan wajah rupawan dan tidak memerlukan effort lebih untuk berdandan? Yup, kurang lebih seperti ini gambaran singkat mengenai konflik awal dalam film The Substance .    @7th Art, at pinterest The Substance sendiri merupakan film horror psikologis garapan sutradara asal Perancis, Coralie Fargeat yang dirilis pada tahun 2024. Pemeran dalam film ini juga tidak kalah menarik, mulai dari Demi Moore,  Margaret Qualley, Dennis Quaid, dan masih banyak lagi. Film ini mengisahkan mengenai Elizabeth (diperankan oleh  Demi Moore) seorang olahragawati yang programnya selalu ditayangkan dalam TV merasa dirinya sudah tidak layak lagi untuk bekerja lagi. Pekerjaan ini mengharuskannya tetap cantik, muda, dan bersemangat. Sementara Elizabeth yang sudah mulai menua merasa karirnya sedang dalam an...